Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Dari Simbol ke Solusi: Apa yang Harus Dilakukan FKUB?

 


Saya tidak pernah benar-benar memperhatikan apa itu FKUB—Forum Kerukunan Umat Beragama. Dalam benak saya, itu hanyalah nama lembaga yang sesekali terdengar dalam pemberitaan atau acara-acara seremonial. Tapi beberapa waktu lalu, saya secara tidak sengaja membaca sebuah tulisan dari seorang tokoh agama yang membahas tentang akselerasi peran FKUB dalam menjaga kerukunan umat beragama. Tulisan itu menggelitik pikiran saya. Ada sesuatu yang menarik dan penting, yang selama ini mungkin saya abaikan.

Tulisan tersebut mengungkapkan bagaimana FKUB, yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, sebenarnya punya misi besar: menjaga harmoni antarumat beragama di Indonesia. Tapi seiring waktu, pertanyaan besar muncul: apakah FKUB masih relevan di masyarakat? Apakah mereka hanya menjadi simbol toleransi yang terdengar indah di atas kertas, tetapi tidak terasa di lapangan?

Pertanyaan ini, justru mendorong saya untuk berpikir lebih dalam. Jika FKUB hanya menjadi lembaga formalitas tanpa daya gerak nyata, maka kita sedang membiarkan ruang kerukunan diambil alih oleh narasi-narasi ekstrem yang lebih aktif di masyarakat. Justru di sinilah pentingnya kita mendesak agar FKUB bertransformasi.

Menyentuh Akar Rumput: Jalan yang Harus Diambil

Satu hal yang saya sadari setelah memahami lebih jauh: FKUB harus menyentuh akar rumput. Mereka tidak cukup hanya duduk bersama para tokoh agama senior, tetapi harus turun ke RT, ke pemuda masjid, ke ruang diskusi pemuda lintas iman, ke forum gereja kecil. Di situlah kehidupan nyata berada. Di situlah kerukunan bisa benar-benar dibangun—atau justru goyah.

Masyarakat akar rumput sering kali menjadi objek propaganda intoleran dan radikal karena mereka tidak mendapatkan edukasi yang cukup tentang wawasan kebinekaan. FKUB seharusnya hadir, bukan hanya dengan narasi formal, tapi dengan pendekatan yang menyentuh: diskusi santai, program literasi, pelatihan narasi damai, bahkan forum daring partisipatif yang merangkul semua.

Mencegah Radikalisme Sejak Dini

Hal yang paling menggugah saya adalah peran FKUB dalam mencegah radikalisme sejak dini. Sekarang ini, penyebaran ide ekstrem tidak lagi lewat mimbar, tapi lewat media sosial, grup chat, bahkan konten-konten video yang tampak biasa tapi penuh muatan kebencian.

Saya membayangkan bagaimana FKUB bisa punya tim tanggap digital—yang memantau, merespons, dan menciptakan konten tandingan. Bukan untuk berdebat, tapi untuk menjaga ruang publik tetap waras dan damai. Ini bukan pekerjaan ringan, tapi sangat mungkin jika dilakukan bersama.

Enam Langkah Transformasi FKUB

Dari hasil pengamatan saya, ada beberapa langkah yang tampaknya sangat masuk akal dan bisa segera dilakukan FKUB:

  1. Reformasi Struktur dan Representasi Libatkan pemuda, perempuan, dan masyarakat akar rumput. Jangan biarkan forum ini hanya diisi oleh tokoh lama.
  2. Transparansi Program dan Kinerja Biarkan publik tahu apa yang FKUB lakukan dan sejauh mana dampaknya.
  3. Pendidikan Literasi Damai dan Moderasi Masuk ke sekolah, pesantren, dan kampus. Bukan hanya lewat ceramah, tapi pendekatan yang hidup dan relevan.
  4. Respons Digital Aktif FKUB perlu hadir di media sosial, bukan hanya dalam bentuk akun, tapi dalam bentuk suara yang aktif dan tegas saat isu intoleransi muncul.
  5. Kemitraan Strategis Lintas Sektor Berkolaborasi dengan komunitas, NGO, media, seniman, dan lembaga pendidikan.
  6. Advokasi Kebijakan Publik FKUB seharusnya menjadi pengusul dan pendesak lahirnya kebijakan yang adil bagi semua umat beragama.

Penutup: Dari Forum ke Gerakan

Dari pengalaman membaca tulisan itu, saya belajar satu hal penting: moderasi tidak akan hidup hanya lewat wacana. Ia harus dipraktikkan, diajarkan, dan dirawat bersama.

FKUB bisa menjadi kekuatan besar jika mereka benar-benar menyatu dengan denyut masyarakat, terutama di akar rumput. Bila tidak, ia hanya akan jadi simbol. Tapi jika mau berubah, FKUB bisa menjadi solusi.

Dan mungkin, saya tidak akan menulis ini kalau saya tidak secara tak sengaja membaca tulisan itu. Tapi ternyata, kadang yang tidak sengaja justru membuka mata kita pada hal-hal yang selama ini luput.


Referensi:

·         Kementerian Agama Republik Indonesia. (2006). Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

·         Badan Litbang dan Diklat Kemenag. (2020). Moderasi Beragama: Modul Pelatihan.

·         Wahid Institute. (2018). Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.

·         Paramadina & Maarif Institute. (2022). Studi Tantangan dan Peran FKUB di Daerah: Evaluasi dan Rekomendasi Strategis.

Post a Comment

0 Comments