Pesantren bagi saya adalah tempat di mana keberagaman etnis dan budaya
menyatu dalam satu tempat. Dari Sabang sampai Merauke, bahkan sampai luar negeri. Pesantren yang sedari dulu menjadi muara ilmu pengetahuan agama. Biasanya
membentuk kader untuk tumbuh dan belajar di bawah satu atap yang sama. Untuk saling
merangkul, mengenal dan menghargai satu sama lainnya".
Disana akal dan fisik dididik untuk bisa beradaptasi di berbagai keadaan.
Mental di uji, semangat dalam memperdalam nilai-nilai keislaman harus terus
dijaga agar rasa cinta akan ilmu terus tersimpan di dalam dada".
Saya pernah mempunyai pola pikir yang sebenarnya agak lain ketika saya
tumbuh di pesantren. Bagi saya tempat ini adalah tempat yang sempurna dan
hanyak untuk orang yang "sempurna". Kekurangan adalah penghalang
untuk bisa menjadi orang yang berbagai bidang keilmuan. Pola pemikiran saya pun
terbentuk dengan “Kurang harta bisa di cari, kurang fisik tak bisa di ganti”
Hingga akhirnya semua terbantahkan oleh kenyataan yang saya alami selama di
sini. Aku hidup, berdekatan dengan orang “kurang”. Dari dulu, saya sudah punya
empati, rasa kasihan kepada mereka. Tapi tidak pernah terbayangkan hidup
bersama, sebagaimana dengan orang normal lainnya. Dan ternyata tidak hanya
satu, hingga saya lulus dari tempat ini. Tidak kurang tiga orang berhasil
menggoyahkan pemikiran saya yang keliru.
Saya awalnya tidak peduli. Oh yasudah, ada teman difabel di asrama saya sekaligus
teman sekelas. biarin saja, paling juga tidak akan lama. Benar saja, tidak lama
dia mulai sakit-sakitan, sebulan sembuh, sebulan sakit, tapi tetap kembali ke
pesantren dan mengejar ketertinggalan pelajarannya. Kenyataan dan takdir
berkata lain. Dengan mental baja, semangat tak mengenal menyerah. Dia bertahan
hingga wisuda.
Begitu pun dengan dua orang lainya. Dengan segala keterbatasan yang
dimiliki. Mereka berjuang, melawan arus, berjuang untuk mengatakan. Kami tidak
berbeda. Seolah di setiap harinya gaung suara tersebar kelangit-langit dan
berbunyi “kami tidak sempurna dimata kalian tapi sempurna di mata tuhan. Saya bisa
loh, saya tidak perlu di kasihani loh. Temani saya berkembang. Tapi jangan anggap
saya kekurangan”
Hidup mereka penuh dengan kebanggan, girah mereka memaksa setiap orang
untuk tidak lagi memandang hanya dengan mata iba, tapi juga dengan mata yang
bangga atas segala pencapaian yang ada. Dengan mereka mempunyai peran
tersendiri di lingkungan pertemanan yang mereka miliki.
Dari situlah. Pandangan saya berubah
sepenuhnya. Semua orang, baik sempurna atau tidak. Memiliki kesempatan yang
sama. Kita tidak hanya hidup bersama dengan etnis, suku dan agama yang berbeda.
Saya mulai untuk mengakui mereka. Memandang dengan pandangan yang lebih
memanusiakan manusia.
0 Comments