Diskusi publik yang diinisiasi Ubermensch Project beberapa waktu lalu mengangkat isu menarik: haruskah jurusan filsafat dihapuskan dari dunia akademik? Pertanyaan ini muncul dari keresahan akan relevansi filsafat di tengah krisis lapangan kerja dan rendahnya minat masyarakat terhadap studi-studi teoretis. Feri Irwandi, pemantik utama diskusi, menyatakan bahwa “Indonesia tidak membutuhkan jurusan filsafat, tapi membutuhkan mata pelajaran filsafat.”
Menurut Feri, filsafat sebagai cara berpikir harus diakses oleh semua orang sejak usia dini. Ia melihat bahwa sistem penjurusan justru membuat filsafat menjadi eksklusif dan jauh dari masyarakat. Akibatnya, banyak lulusan filsafat tersesat dalam pasar kerja yang tidak membutuhkan mereka secara spesifik. "Mereka pintar-pintar," katanya, "tapi kompetensi mereka tidak match dengan kebutuhan lapangan kerja. Jurusan filsafat bisa jadi menjerumuskan mereka ke dalam krisis ekonomi."
Namun pandangan ini ditanggapi kritis oleh Kiki Sehan, seorang pembelajar filsafat yang justru melihat penghapusan jurusan filsafat sebagai bentuk degradasi terhadap keilmuan itu sendiri. “Filsafat bukan sekadar logika atau epistemologi,” jelasnya, “melainkan juga ontologi dan metafisika yang butuh pendalaman struktural. Jika dijadikan sekadar mata pelajaran, ia akan kehilangan akarnya.”
Dalam diskusi yang semakin luas, sejumlah akademisi dari Fakultas Filsafat UGM seperti Mas Odi dan Mas Gigi turut memberikan perspektif. Mas Odi menyebut bahwa tidak semua topik filsafat harus menjangkau publik luas, karena ada ruang khusus untuk “dapur keilmuan” yang hanya bisa dijaga oleh institusi seperti fakultas filsafat. Ia mencontohkan disertasinya yang menelaah status ontologis objek semantik ketuhanan—kajian yang sulit dicerna secara umum, namun penting untuk menjaga kedalaman diskursus filsafat.
Mas Gigi menambahkan bahwa filsafat justru harus menjadi “jembatan ilmu” yang menyapa berbagai disiplin. “Saya mengajar di kampus bisnis,” ujarnya, “dan saya melihat filsafat sangat membantu dalam membentuk cara berpikir strategis dan etis mahasiswa.” Namun, ia menolak penghapusan jurusan sebagai solusi atas krisis relevansi. Yang dibutuhkan, menurutnya, adalah reformasi pendekatan interdisipliner dan kerja sama antar keilmuan.
Diskusi juga menyentuh aspek ekonomi. Feri menantang para aktivis filsafat muda untuk membuktikan bahwa ilmu ini bisa menjemput pasar. Beberapa peserta, seperti komunitas Intuisionistik dan Kokito, menunjukkan inisiatif membangun sistem pendidikan filsafat berbasis subscription dan platform digital. Namun Feri meragukan skala dan keberlanjutan model tersebut. “Kalau kalian yakin ini bisa jadi solusi ekonomi,” katanya, “saya siap jadi pemodal. Tapi tunjukkan skema bisnisnya.”
Pada akhirnya, simpul perdebatan ini mengerucut pada dua pendekatan besar. Pertama, pendekatan inklusif: membawa filsafat ke ruang publik, mengajarkannya sejak dini, dan meleburkannya dalam berbagai disiplin. Kedua, pendekatan konservatif-progresif: mempertahankan jurusan filsafat dengan reformasi kurikulum dan penguatan jejaring interdisipliner. Keduanya tidak harus bertentangan—bahkan saling melengkapi.
Filsafat bukan hanya soal berpikir rumit. Ia adalah cermin untuk melihat ulang siapa diri kita, bagaimana kita memahami dunia, dan ke mana kita hendak menuju. Jika benar bahwa filsafat adalah ibu segala ilmu, maka ia harus diberi ruang untuk hidup—baik di kampus, ruang kelas, maupun ruang publik. Tapi bagaimana bentuk ruang itu dibangun, itulah dialektika yang tak akan selesai dalam satu malam.
0 Comments