Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Ibu, Yasin dan Saya #Day 6

 


Ketika saya berada disekolah dasar, saya adalah anak yang sedikit belajar, sedikit buka buku dan sedikit sekali ikut mengaji. Lebih banyak bermain tanpa lupa meminta uang untuk ongkos main. Berkeliran sana dan sini. Sampai kehilangan arah, hingga nongkrong dirumah orang yang baru kenal dijalan. Saya baru bisa tenang dirumah kalau  weekend saat kartun kesayangan banyak diputar di RCTI.

Masa kecil saya, nggk terlalu bahagia dari segi Harta benda. Jauh dari kata sejahtera, tapi ibu dan ayah tetap berusaha agar keluarga cukup, untuk makan, belajar dan hidup. Merasakan panas ketika terik, kedinginan ketika hujan, hingga terbangnya terpal yang menjadi pengganti genteng, kala hujan bercampur angin melanda Bekasi adalah hal yang biasa. Tapi kami bahagia dan bisa hidup, berkembang hingga sekarang.

Namanya waktu, dia berjalan cepat tanpa dapat di hentikan. Usia terus bertambah kebobrokan saya malah makin bertambah. Sampai pada titik ada sebuah moment yang sampai sekarang masih saya ingat terjadi. Disuatu maghrib, setelah sholat, kalau tidak salah saat saya kelas 3 atau 4 SD. Teteh saya 6 SD dan Abang saya 8 MTs. 

Kami duduk bersama membaca yasin, diatas kasur yang ringkih, bersama ibu yang masih memakai mukena berwarna putih. Di mulailah kami bersama-bersama membaca Yasin. Abang, teteh dan ibu terdengar membaca dengan begitu cepat dan lancar. Sementara saya malah terbata hingga akhirnya menyerah dan diam karena kesulitan mengikuti tempo bacaan mereka. Melihat saya yang diam seketika itu ibu marah dan tamparannya mendarat di pipi saya, saya diam sejenak lalu berkata “bacanya kecepetan ibu”. Beliau pun menjawab “makannya ngaji, main terus”. Saya pun menangis lama, saambil terus memegangi pipi, hingga akhirnya lelah dan  hujan tangis reda dengan sendirinya.

Dibalik apa yang saya rasakan ketika kecil, manfaatnya saya rasakan ketika besar. Dibalik keras dan tegasnya didikan beliau yang saya tahu hanya satu. Beliau ingin anaknya berguna dan menjadi lebih baik. Hingga kini cita-cita beliau keanak-anaknya hanya satu, menjadi pribadi yang Sholeh dan berbakti. Sebaik-baiknya masa adalah masa yang di pakai untuk belajar dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Nggk sedekar main dan bersenang-senang tanpa kenal belajar. Cerdas adalah berkah, Pintar adalah pilihan dan terus belajar hingga ajal menjelang adalah kewajiban. Tamparan terasa sakit dan akan hilang seketika. Tapi kebodohan yang terbawa mati kan membuat menyesal selamanya.


Post a Comment

0 Comments