Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Menulis Kebohongan




Aku kembali bersemangat tatkala suplemen baru saja aku dapatkan. Kini aku ingin kembali menulis. Kucari posisi yang sekiranya nyaman untuk menulis. Tempat sepi menjadi pilihanku. Sejurus kemudian Ku ambil meja dan kusandarkan tubuhku ke tembok. Pulpen dan buku telah tersajikan di hadapanku. 
Aku mulai menulis kalimat SANTRI, “stop” terdengar olehku teriakan pelan dari atas lembaran buku yang telah kubuka sedari tadi. Kulihat mahluk kecil berdiri sambil berkacak pinggang, menghentikan satu langkah imajinasiku. Raut wajahnya mirip denganku, seperti bercermin. Tubuhnya bergoyang pelan tak mau diam, kuamati lagi lebih dekat. Persis denganku.
 “Wah, mahluk apa ini.” Aku membatin.
“Why…? dan siapa kau?”
Selidikku heran membuka percakapan.
“Pokoknya berhenti menulis. Mau tahu siapa aku? Ah, nggak penting, yang jelas berhenti, jangan dilanjutkan.” 
Jawabnya dengan nada datar dan cuek.
“Lah, kamu itu gimana sih, ditanya kamu siapa, nggak jawab, ditanya alasannya apa sampai ngelarang aku ngelanjutin nulis, juga nggak dijawab, ganggu aja nih. Baru dapat semangat baru nih.” Aku mulai kesal.
“Sudah, intinya harus berhenti, percuma kamu menulis, karena apa yang kamu tulis selama ini hanya kebohongan,” Selorohnya dengan penuh kesombongan.
“Dari mana kamu tahu kalau ini cuma kebohongan, emang kamu bisa baca hatiku?” Balasku menyangkal.
“Ya tahulah... Aku adalah wujud dari dirimu. Aku adalah nuranimu.” 
Jawabnya sambil menepuk-nepuk dadanya. 
“Sombong banget.” Pikirku.
“Ngaku juga dia, tapi tunggu dulu, masa kamu nuraniku? nggak mungkin, mana bisa,” 
Aku sedikit tak percaya, bagaimana bisa hati nurani menjelma dalam bentuk wujud. 
“Hustt…apa sih yang nggak bisa kalau Allah berkehendak,” Selanya, omonganku belum selesai sudah dipotong, aku makin kesal dibuatnya.
“Sekarang coba lihat semua tulisan yang telah kamu buat, bukankah itu semua kebohongan? Kau menulis ini dan itu, menyarankan banyak hal, padahal itu semua belum tentu kau lakukan dan terjadi, tidakkah itu suatu kebohongan? Percuma tulisan seperti itu, tak ada kejujuran di dalamnya.” 
Lanjutnya kini dengan improvisasi gerakan-gerakan meremehkan.
“Tapi kan dari itu semua aku pun berusaha untuk melakukan apa yang aku tuliskan, selain aku berharap kebaikan kepada orang lain. Itu semua karena aku ingin buah pikiranku tersampaikan, dan itu semua bukan kebohongan.” Bantahku. 
“Buktinya sekarang apa coba, ada tidak perubahan pada dirimu?” 
Dia matikan aku skak mat, benar-benar menohok. Tapi memang benar, dari semua tulisan yang telah aku buat, hampir semua hanyalah inspirasi hidup yang bertujuan memotivasi, berharap akan membawa perubahan, bagi pembaca dan pribadiku terutama.
“Percuma, kau mau membohongiku, ingat, aku adalah dirimu.” Sambungnya lagi. Aku masih terdiam, sementara aku lihat kini mahluk kecil foto copy-an ku duduk sambil menyelonjorkan kakinya.
“Tapi apa salahnya? Bukan hanya aku, semua penuulis pun hampir semua seperti itu,” Aku masih terus berusaha membela diri. 
“Biarkanlah aku kembali menulis, aku sudah terlalu lama tertidur pulas.” Pintaku pada nuraniku.
“Buat apa kau menulis kalau tidak dari hatimu?”
Nuraniku sambil memukul pelan meja dengan telapak tangannya.
“Tapi aku menulis dari hati.” 
“Apa? coba lihat lagi tulisan-tulisanmu, apa itu dari hati? tulisanmu itu hanya demi menuanaikan sebuah tuntutan,” Kini dia memalingkan wajahnya, meludah lalu berdiri, menyisakan segala tanya, rasa bersalah dan segenap resah.
“Mungkin ada tulisanmu yang dari hati, itu pun dalam rangka sebuah tugas dan tanggung jawab, apa lagi tulisanmu adalah sajak-sajak yang tak pernah selesai. Lebih karena ungkapan egomu, curahan perasaanmu yang kau balut dengan retorika katamu, lalu kau umbar dan sebarkan,” 
Dia berjalan pelan, dan kini berada di sisi meja yang ada di sampingku. 
“Namun, buktinya banyak yang terinspirasi oleh tulisanku, meski kau terus berargumen menyudutkanku, jadi apa salahnya aku menulis lagi, walau mungkin sekarang aku menulis tanpa hati, tapi aku menulis dengan kebahagiaan dan keyakinanku. Aku ingin tulisanku membawa perubahan, apa itu salah?” 
Aku tetap dengan pendirianku, karena aku merasa benar.
“Kau mengaku bagian dariku, tapi kenapa kamu malah melemahkanku ?” aku mencoba mengimbangi dia. Kini sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjukku. 
“Iya, aku memang bagian darimu. Aku tercipta murni dari dirimu. aku melakukan ini semua karena aku takut dirimu jatuh. Kamu terperosok ke lubang penyakit yang hanya berkata namun buktinya kamu tidak melakukannya. Aku takut kamu masuk neraka karena ini 
Dia pun tetap membela diri, kini sambil menunjuk tulisan yang ada di atas kertas dan mengangkat pulpenku. 
“Aku khawatir kau akan terlena, ketika nanti pujian-pujian yang terlontar atas karya tulismu, aku tak ingin kau lalai dan mendapat murkaNya.” 
Kulihat matanya basah dan mengkilap. aku hampir tertawa melihatnya. Melihat gelagatku seperti itu ia memalingkan badan. Aku pun tertawa sebentar. Lalu tiba-tiba hening.
“Kenapa kau malah tertawa?” 
Dia membelakangiku, berusaha menyembunyikan air matanya.
“Kenapa kamu sebegitu cemasnya?”
“Karena aku adalah dirimu.” 
sambil menggembungkan pipi dengan nada yang agak menghentak.
“Tenang aku tidak akan begitu” 
dengan nada santai dan mendorong-dorong pundaknya dengan jari telunjuk.
“Tapi aku tidak yakin denganmu, melihat keseharianmu, segala watak perilakumu, aku tak yakin kau mampu.”
“Kau tahu banyak ya…!!” kataku dengan tersenyum.
“Akukan dirimu.” sahutnya kesal.
“Oh iya…ya… lupa.” Kataku kini dengan tawa kecil.
“Lagi pula sekarang aku bukan lagi penulis seperti dulu dan juga belum meraih buah dari menulis. Santai masaku masih panjang. Sekarang pun aku bukan ingin membuat fiksi. Aku ingin membuat karya untuk bangsa.”
Nuraniku bangun dan mendekat kearahku. Kusodorkan telapak tangan ku dan di melompat menaikinya. Aku angkat dan kutaruh dia di pundakku. Tangannya memegangi leher belakangku.
“Hmm. Oke seandainya begitu, ayo buat janji.” Katanya
“Boleh juga. Apatuh” tanyaku penasaran
“Kamu berjanji untuk tidak menjadi orang yang seperti yang ku cemaskan dan aku berjanji tidak akan menghalangimu lagi untuk menulis”
“Oke, siap. Deal?”
“Deal, inget terus janjinya loh. Kelestarianku tergantung amanah atau tidaknya dirimu.” pintanya sambil bersalaman denganku. Tentunya ia memakai kedua tangan sementara aku hanya jari kelingkingku. Setelah itu dia melompat dari pundakku lalu menghilang entah kemana. Kulihat waktu masih panjang, ide masih terus mengalir dan aku masih semangat. Kulanjutkan tulisanku dengan niat yang kuat. Semoga tulisan ini merubah bangsa.
***
Malam ini ku lanjutkan mengetik tulisan yang telah kurampungkan kemarin. Kulihat jam dinding. Ah, malam benar-benar telah larut. Mataku sudah benar-benar berat. Aku sudah setengah sadar. Ayo semangat, sedikit lagi batinku berteriak. Tinggal satu paragraph penutup. Namun apa mau dikata, aku kalah dan ambruk.
Cetik, cetik, cetik. 
Aku terbangun setengah sadar, kulihat ada yang bergerak dari satu sisi ke sisi lain di keyboard komputerku. Ku lihat monitor PCku ternyata tulisannya bertambah. Kubaca sekilas tulisan yang terketik tadi,
Semoga dengan makin meningkatnya kualitas dan kuantitas santri. Di masa yang akan datang Santri bisa merubah bangsa ini dengan lebih signifikan. Bahkan kalau bisa berperan besar di mata dunia. Sehingga kaum sarungan tidak akan lagi dipandang sebelah mata. Selesai” 

Ah, mungkin itu hanya alam bawah sadarku, imajinasi berlebihku. Aku pun melanjutkan rangkaian mimpi-mimpiku.

Post a Comment

0 Comments