Alumnus dan penerima beasiswa dari Universitas Al Azhar Cairo (Mesir,
1964-1970) untuk studi islam dan bahasa arab ini, sebelumnya menempuh
pendidikan di SR 6 tahun (Rembang, 1950-1956), Pesantren Lirboyo (kediri,
1956-1958), Pesantren Krapyak (Yogyakarta, 1958-1962), Pesantren Taman Pelajar
Islam (Rembang, 1962-1964).
Dilahirkan di Rembang , 10 Agustus 1944, Gus Mus (KH.
Ahmad Mustofa Bisri) beruntung dibesarkan dalam keluarga yang
patriotis, intelek, progresif sekaligus penuh kasih sayang. Kakeknya (H.
Zaenal Mustofa) adalah seorang saudagar ternama yang dikenal sangat
menyayangi ulama. Dinaungi bimbingan para kiai dan keluarga yang saling
mengasihi, yatim sejak masih kecil tidak membuat pendidikan anak-anak H. Zaenal
Mustofa terlantar dalam pendidikan mereka. Buah perpaduan keluarga H. Zaenal
Mustofa dengan keluarga ulama bahkan terpatri dengan berdirinya “Taman
Pelajar Islam” (Roudlatuth Tholibin), pondok pesantren
yang kini diasuh Gus Mus bersaudara. Pondok ini didirikan tahun 1955 oleh ayah Gus
Mus, KH. Bisri Mustofa. Taman Pelajar Islam secara
fisik dibangun diatas tanah wakaf H. Zaenal Mustofa, dengan pendiri dan
pengasuh KH Bisri Mustofa sebagai pewaris ilmu dan semangat pondok pesantren
Kasingan yang terkemuka diwilayah pantura bagian timur waktu itu, dan bubar
pada tahun 1943 karena pendudukan Jepang. KH. Bisri Mustofa sendiri adalah
menantu KH. Cholil Harun, ikon ilmu keagamaan (Islam) di
wilayah pantura bagian timur (Anshari, et.al.,2005: 34). Ayah Gus Mus sangat
memperhatikan pendidikan anak-anaknya, lebih dari sekedar pendidikan formal.
Meskipun otoriter dalam prinsip, namun ayahnya mendukung anaknya untuk
berkembang sesuai dengan minatnya.
Menikah dengan Hj. Siti fatmah (1971), mereka
dikaruniai 7 anak (6 putri, 1 putra bernama M. Bisri Mustofa), dan
13 cucu. Yang semakin langka dalam keluarga masa kini, namun nyata berlangsung
dalam keluarga Gus Mus adalah hubungan saling menghormati, saling menyayangi
diantara sesama anggota keluarga. Sebagai ilustrasi, kiprah sang ayah di dunia
politik (Anggota Majelis Konstituante, 1955; Anggota MPRS, 1959; Anggota MPR,
1971), tidak dengan sendirinya membuat Gus Mus tertarik kepada dunia politik.
Jika akhirnya Gus Mus terjun juga ke dunia politik (1982-1992 anggota DPRD Jawa
Tengah; 1992-1997 Anggota MPR RI) itu lebih karena pertimbangan tanggung jawab
yang tak bisa dielakkannya, mengingat kapasitas-kapasitasnya. Dengan mengambil
sikap-sikap politik yang sulit, Gus Mus sangat memperhitungkan restu
keluarganya, terutama ibundanya Hj. Ma’rufah, selain istri dan
anak-anaknya.
Disiplin dalam menulis
KH. Bisri Mustofa penulis Tafsir al-ibris yang
masyhur, di zamannya termasuk ulama ‘nyeleneh’ karena bekerja sebagai penulis.
Beliau dikenal kemampuannya menerjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab
menjadi bacaan indah sekaligus mudah difahami.
Produktivitas menulis keluarga ulama ini, khususnya
produktivitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbach
Mustofa (keduanya putra H. Zaenal Mustofa) baik dalam bahasa
Indonesia, Jawa mmaupun bahasa Arab mendorong inovasi diadakannya pelatihan
menulis dalam bahasa Indonesia dan menerjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia
bagi para santri Taman Pelajar Islam (1983) yang diprakarsai adik Gus Mus KH
M. Adib Bisri. Ketika itu kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia rata-rata
santri sangatlah minim.
Gus Mus sendiri bersama kakaknya KH M. Cholil
Bisri, sejak muda mempunyai kebiasaan menulis sajak dan saling
berlomba untuk dipublikasikan. Gus Mus yang suka membaca sejak masa
kanak0kanak, tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai mdia masa
termasuk Kompas (Kompas Minggu 9 Januari 1997:2).
(Untuk menghindarkan diridari ‘bayang-bayang’ nama besar ayahnya, Gus Mus
pernah menggunakan nama M. Ustov Abi Sri sebagai
pseudonimnya). Pentas baca puisinya yang pertama (1980-an) telah menuai banyak
pujian dan Gus Mus segera dikukuhkan kehadirannya sebagai “bintang baru’ dalam
dunia kepenyairan Indonesia. Ia menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang
menguasai sastra Arab (bukan sekedar terjemahannya). Kini sajak-sajak Gus Mus
terpampang hingga ruangan kampus Universitas Hamburg (Jerman). Tulisannya
tersebar luas diantaranya bisa kita baca di Intisari, Horison, Kompas,
Tempo, Detak, Editor, Forum, Humor, DR, Media Indonesia, Republika, Suara
Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos, Bali Pos, Duta
masyarakat (Baru), Pelita, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an, Ummat, Amanah,
Aula, Mayara. Pada majalah Cahaya Sufi (Jakarta),
MataAir (Jakarta), MataAir (Yogyakarta), Almihrab (Semarang)
Gus Mus duduk sebagai Penasehat.
Karena dedikasinya dibidang sastra, Gus Mus banyak menerima
undangan juga dari berbagai negara. Bersama Sutardji Colzoum bachri, Taufiq
Ismail, Abdul hadi WM, Leon Agusta, Gus Mus menghadiri perhelatan puisi
di Baghdad (Iraq, 1989). Masyarakat dan mahasiswa Indonesia
menunggu dan menyambutnya di Mesir, Jerman, Belanda, Perancis, jepang,
Spanyol, Kuwait, Saudi Arabia (2000). Fakultas Sastra Universitas
Hamburg, mengundang Gus Mus untuk sebuah seminar dan pembacaan puisi
(2000). Universitas Malaya (Malaysia) mengundangnya untuk
seminar Seni dan Islam. Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan “Anugerah
Sastra Asia” dari Majelis Sastra (Mastera,Malaysia, 2005).
Membaca sajak saat berdakwah, bukan hal baru di kalangan
pesantren. Tapi, membaca sajak sebagaimana dilakukan Gus Mus dengan
sajak-sajak mbeling atau ‘puisi balsem’ (balsem adalah obat
gosok penghilang pening)-nya, memang baru Gus Mus yang memulai (Kompas Minggu,
9 Janurai 1997: 2). Sajak-sajak Gus Mus menjadi medium bagi Gus Mus untuk
mengkomunikasikan berbagai situasi sosial yang aktual dengan para
santri/asudiens-nya. Dengan bangkitnya keingintahuan santri dan para audiens,
terbukalah dialog sehingga terbuka harapan akan meningkatnya pemahaman yang
lebih untung tentang diri sendiri, sesama, situasi lingkungan dan agama.
Dedikasi Gus Mus di dunia puisi disambut oleh seniman-seniman
lain. Sebuah group band anak muda pernah mengaransir lagu untuk puisi Gus Mus.
Bersama Idris Sardi Gus Mus menyuarakan keprihatinannya
tentang persatuan bangsa dalam pagelaran karya musik dan puisi bertajuk “Satu
Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang” di Gedung Kesenian Jakarta, 22 Maret
2006 (Kompas, 23 Maret 2006: 15). Tahun 2008 Gus Mus berkenan
menulis lirik lagu diantaranya berisi parodi tentang bagaimana manusia
mempertaruhkan ‘kaki’, ‘kepala’, bahkan ‘dada’ demi sekdar ‘kesenangan
(kekuasaan) mempermainkan bola’—utnuk lagu Sawung Jabo (belum
dipublikasikan).
Kepedulian Gus Mus yang tercurah media massa melahirkan konsep ‘MataAir’. Konsep
ini mewadahi mimpinya tentang media alternatif yang berupaya
memberikan informasi yang lebih jernih, yang pada awalnya merupakan respons
atas keprihatinannya terhadap kebebasan pers yang sangat tidak terkendali
(setelah Orde Baru tumbang, 1998). Meski belum sepenuhnya hadir seperti yang diharapkan
Gus Mus, konsep ‘MataAir’ iini akhirnya terwujud dengan diluncurkannya
situs MataAir, gubuk maya Gus Mus di www.gusmus.net (2005),
kemudian disusul penerbitan perdana majalah MataAir jakarta
(2007) dan MataAir Yogyakarta (2007). ‘MataAir’ mempunyai motto: “Menyembah
Yang Maha Esa, Menghormati yang lebih tua, Menyayangi yang lebih muda,
mengasisih sesama”.
Masyarakat juga menikmati inovasi lain sebagai buah dari tradisi
menulis keluarga Mustofa ini. Pada pernikahan keempat putrinya, untuk
masing-masing Gus Mus menerbitkan sebuah buku yang dibagikan sebagai cindera
mata bagi para tetamu. Tiga diantaranya Kado pengantin (kumpulan
nasehat untuk pengantin yang ditulis tokoh kiai dan cendekiawan, 1997), Bingkisan
Pengantin (antologi puisi tokoh penyair, 2002), Cerita-Cerita
Pengantin (kumpulan cerpen yang ditulis para tokoh cerpenis, 2004).
0 Comments